Sunday 7 October 2018

Stigma Pribumi

Asal-Usul Kata Pribumi
Menyinggung masalah pribumi seolah tidak ada habisnya. Dari yang dicap positif bahkan negatif. Tak jarang pribumi menjadi bahan olok-olokan dari masyarakat nonpribumi. Disini saya akan mencoba mengulik dari mana asalnya kata pribumi dan isu-isu yang berkembang.

Melacak jejak istilah pribumi dalam hukum nasional ternyata tidak semudah membalik telapak tangan atau segampang mengucapkannya. Pribumi yang merupakan penyempurnaan kata sansekerta bumiputera dialihbahasakan dari kata in’lander dalam bahasa Belanda.

Dikutip dari wikipedia istilah ini pertama kali dicetuskan dalam undang-undang kolonial Belanda tahun 1854 oleh pemerintah kolonial Belanda untuk menyamakan beragam kelompok penduduk asli di Nusantara kala itu terutama untuk tujuan diskriminasi sosial.

Selama masa kolonial, Belanda menanamkan sebuah rezim segregasi (pemisahan) rasial tiga tingkat. Ras kelas pertama adalah Europeanen (eropa : kulit putih), ras kelas kedua adalah Vreemde Oosterlingen (timur asing) yang meliputi orang Tionghoa, Arab, India maupun non-Eropa lain, dan ras kelas ketiga adalah Inlinder (pribumi). Sistem ini sangat mirip dengan sistem politik di Afrika Selatan dibawah apartheid, yang melarang lingkungan antar ras yang dibatasi oleh hukum passenstelsel. Pada akhir abad ke-19 Pribumi-Nusantara sering kali disebut dengan istilah Indonesiers (orang Indonesia).

Etos Kerja Pribumi di Mata Orang Eropa
Ketika masa kolonial Hindia-Belanda etos kerja pribumi Jawa sempat di cap “pemalas” oleh orang Belanda. Awal kedatangan bangsa asing ke bumi pertiwi ini tentunya harus melalui sosial, budaya dan perilaku yang dijalankan oleh masyarakat Jawa. Sebagai pihak yang datang dengan maksud untuk melakukan kegiatan ekonomi, sumber daya manusia sebagai para pekerja juga tentunya menjadi aspek yang juga kurisial.

Mentalitas pribumi dalam menjalani pekerjaan kadang membuat bangsa asing terheran-heran. Para penjajah tidak habis pikir dengan etos kerja pribumi yang berbeda jauh dengan budaya kerja di barat.



Denyut nadi orang-orang barat yang bergerak serba cepat dan maju tidak membuang waktu berbeda jauh dengan pribumi di pulau Jawa. Semangat untuk menyelesaikan pekerjaan secara kilat seolah tidak pernah digagas oleh orang Jawa.

Pepatah Jawa yang terkenal “alon-alon waton kelakon” (biar lambat asal tujuan tercapai), nyatanya memang sudah mendarah daging dalam diri pribumi Jawa. Alhasil orang Jawa sering kali disebut pemalas.

Stigma mengenai mentalitas pribumi Jawa yang malas di mata Eropa juga mungkin terkait dengan pulau Jawa yang dianugerahi tanah yang subur, iklim yang baik, dan kekayaan alam yang melimpah. Hal tersebut menjadi salah satu faktor yang membuat penduduknya terbiasa santai, sehingga terkesan bermalas-malasan.

Sejak berabad-abad, orang Jawa memang bekerja dari pagi hingga siang, namun dengan alur dan tempo yang ala mereka sendiri. Misalkan bekerja hari ini tidak selesai, ya dilanjutkan besok saja. Toh hasil panen mau dikerjakan buru-buru atau santai hasilnya tetap sama saja. Meski begitu hasil pekerjaan pribumi Jawa juga tidak buruk.

Kata Pribumi di Zaman Sekarang
Kata pribumi di era modern sekarang ini masih saja digunakan. Contohnya saja kota Bekasi, Bekasi adalah kota industri yang dimana banyaknya berdiri perusahaan-perusahaan sekala internasional. Karena banyaknya perusahan inilah muncul warga pendatang dari berbagai kota dan pulau di indonesia, bahkan tenaga kerja asing juga ikut membanjiri.

Persaingan dalam mencari pekerjaan sangatlah ketat, perusahaan-perusahaan mematok para calon pekerjanya untuk mempunyai keahlian khusus. Bahkan ada beberapa perusahaan hanya mau menerima calon pekerja dari luar daerah Bekasi dan sebagian lagi mempekerjakan pribumi dalam lingkungan perusahaannya hanya sedikit. Tidak semua memang, tetapi pemilihan kata pribumi sangatlah kontras dalam hal ini.

Kesimpulan
Mengenai asal mula pribumi sudah dibahas diatas, alangkah baiknya kata pribumi tidaklah diucapkan demi menghindari rasisi atau mengkotak-kotakan Bahkan membedakan. Kembali lagi pada point-point Pancasila.

No comments:

Post a Comment